Tulisan ini saya rangkum dari buku “Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin” bab
keempatpuluh karya Imam Ghazali . Sumber gambar dari sini.
***
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu
lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu” (QS.
Al-Jumu’ah [62]: 8)
Ada sebagian manusia yang sangat
jarang sekali mengingat kematian. Ketika megingatnya pun ia membencinya karena
ia terlena oleh dunia. Ada pula manusia yang ketika mengingat kematian semakin
bertambah rasa takutnya kepada Allah SWT shingga ia pun bertobat dari sesuatu
yang (mungkin) tidak perlu ditobati. Mengingat kematian dapat membuatnya merasa
takut, lalu bersiap-siap menghadapinya dengan benar-benar bertobat.
Ada pula orang yang membenci
kematian bukan karena ia terlena oleh dunia, namun disebabkan karena sedikitnya
bekal yang ia miliki dan tidak adanya persiapan untuk menghadap kepada-Nya,
jadi kebenciannya ini bukan karena ia merasa enggan untuk bertemu Allah SWT.
Namun tipe semacam ini tidaklah tercela, karena keinginannnya untuk hidup
adalah demi mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian tersebut, di mana jika
bekal yang dimilikinya sudah cukup, ia pun siap untuk menghadap-Nya.
Keistimewaan Mengingat Kematian
Rasulullah SAW bersabda,
“Perbanyaklah mengingat penghancur segala kenikmatan (yaitu kematian) -- HR.
oleh Ibnu Majah, as-Sunan (4258) --. Dalam hadist lain, beliau juga bersabda,
“Seandainya binatang mengetahui apa yang engkau ketahui tentang kematian,
niscaya engkau tidak akan memakan lemak badannya (karena hewan pun akan merasa
takut untuk mati).”
Suatu hari Rasulullah SAW keluar
dari mesjid, dan beliau mendapatkan sekolompok orang sedang berbicara dan
tertawa gembira. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada mereka, “Ingatlah mati,
demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, jika kalian mengetahui apa yang aku
ketahui tentang kematian, pastilah kalian akan lebih banyak menangis daripada
tertawa. HR. Al-Baihaqi, as-Sunan (10/26)
Ketahuilah bahwa kematian adalah
perkara yang sangat besar dan dahsyat. Merenungkannya pasti dapat membuat
manusia menjauhkan diri dari dunia, tidak banyak bersenang-senang dan
mendorongnya untuk segera bersiap-siap menghadapinya. Ketika manusia mengingat
kematian, sementara hatinya sibuk dengan banyak perkara, maka tidak banyak
pengaruh yang ditimbulkannya. Dengan demikian, supaya mengingat kematian dapat
memberi dampak, maka pada saat mengingatnya, hati harus dikosongkan dari segala
hal selain kematian. Ia pun harus memikirkannya seperti orang yang mengharapkan
sesuatu yang menjadi tujuannya pada saat dirinya menempuh perjalanan melalui
jalur darat atau laut. Ketika cara ini dilakukan, maka yang muncul dalam hati
kemungkinan besar hanyalah berfikir tentang kematian dan berusaha mempersiapka
diri untuk menyambutnya.
Gambaran
Penyesalan Ketika Bertemu Malaikat Maut
Wahab bin Munabbih mengisahkan
bahwa ada seorang raja yang hendak bepergian ke suatu tempat. Ia meminta kepada
pelayannya untuk mengambil pakaian yang akan dikenakannya, namun tidak ada yang
menarik baginya. Lalu didatangkan kepadanya berbagai macam hewan tunggangan dan
ia pun mengendarai hewan yang paling bagus. Lalu iblis datang dan meniup lubang
hidungnya hingga diri sang raja dipenuhi kesombongan. Kemudian ia berjalan
dengan bala tentaranya. Ia melemparkan pandangannya kepada orang-orang
disekitarnya. Lalu seorang lelaki dengan penampilan lusuh mendatanginya seraya
mengucapkan salam kepadanya. Namun sang raja tidak membalasnya dan langsung
mengambil tali kekang kudanya seraya berkata, “Hentakan kekangnya.” Tetapi
lelaki itu berkata, “Aku membawa berita penting untukmu. Sungguh, aku punya
hajat yang harus aku sampaikan kepadamu.” Raja pun berkata, “Sabarlah sampai
aku turun dari kuda.” Laki-laki itu berkata lagi, “Tidak bisa, harus sekarang
juga.” Lalu sang raja menarik tali kekang kudanya dan berkata, “Sebutkanlah hajatmu
itu.” Lelaki itu mendekatkan kepalanya ke telinga sang raja, lalu berbisik, “Aku
adalah malaikat maut.” Seketika itu pula, berubahlah muka sang raja dan
lisannya bergetar. Kemudian sang raja berkata, “Biarkan aku ke rumahku dulu,
menyelesaikan urusan-urusanku dan berpamitan dengan keluargaku.” Malaikat itu
berkata, “Tidak, demi Allah. Tidak ada lagi kesempatan bagimu untuk untuk
bertemu keluargamu atau menyelesaikan urusan-urusanmu.” Sang malaikat langsung
mencabut nyawanya dan raja itu langsung jatuh terkulai tak bernyawa lagi.
Kemudian malaikat itu pergi menemui seorang hamba yang beriman seraya memberi
salam dan lelaki itu menjawab salamnya. Lalu malaikat berkata kepadanya, “Aku
ada perlu denganmu.” Hamba mukmin itu berkata, “Katakan keperluanmu.” Sang
malaikat berkata kepadanya, “Aku adalah malaikat maut.” Orang mukmin itu
berkata, “ Selamat datang. Telah lama aku menunggumu. Demi Allah, tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang pergi dariku, lalu aku begitu merindukannya
selain dirimu.” Malaikat maut pun berkata, “Selesaikanlah urusanmu yang belum sempat
engkau kerjakan.” Lelaki itu berkata, “Saya tidak mempunyai urusan yang lebih
besar dan yang lebih aku sukai selain bertemu dengan Allah SWT.” Lalu malaikat
itu pun bertanya, “Dalam kondisi seperti apa yang engkau inginkan saat aku
mencabut nyawamu?” Orang mukmin itu balik bertanya, “Apakah engkau sanggup
melakukannya?” Malaikat pun menjawab, “Ya, itulah yang diperintahkan kepadaku.”
Lelaki itu pun berkata, “Izinkan aku berwudhu dan shalat terlebih dahulu. Lalu cabutlah
nyawaku saat sedang sujud.” Dan malaikat itu pun mencabut nyawanya dalam
keadaan sujud.Lihat: Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’ (6/202)
No comments:
Post a Comment